Gus Dur
adalah putra pertama dari enam bersaudara yang dilahirkan di Denanyar Jombang
Jawa Timur pada tanggal 4 Agustus 1940. Secara genetik Gus Dur adalah keturunan
“darah biru”. Ayahnya, K.H. Wahid Hasyim adalah putra K.H. Hasyim Asy’ari,
pendiri jam’iyah Nahdlatul Ulama (NU)-organisasi massa Islam terbesar di
Indonesia-dan pendiri Pesantren Tebu Ireng Jombang. Ibundanya, Ny. Hj. Sholehah
adalah putri pendiri Pesantren Denanyar Jombang, K.H. Bisri Syamsuri. Kakek
dari pihak ibunya ini juga merupakan tokoh NU, yang menjadi Rais ‘Aam PBNU
setelah K.H. Abdul Wahab Hasbullah. Dengan demikian, Gus Dur merupakan cucu
dari dua ulama NU sekaligus, dan dua tokoh bangsa Indonesia.
Pada tahun
1949, ketika clash dengan pemerintahan Belanda telah berakhir, ayahnya diangkat
sebagai Menteri Agama pertama, sehingga keluarga Wahid Hasyim pindah ke
Jakarta. Dengan demikian suasana baru telah dimasukinya. Tamu-tamu, yang
terdiri dari para tokoh-dengan berbagai bidang profesi-yang sebelumnya telah
dijumpai di rumah kakeknya, terus berlanjut ketika ayahnya menjadi Menteri
agama. Hal ini memberikan pengalaman tersendiri bagi seorang anak bernama
Abdurrahman Wahid. Secara tidak langsung, Gus Dur juga mulai berkenalan dengan
dunia politik yang didengar dari kolega ayahnya yang sering mangkal di
rumahnya.
Sejak masa
kanak-kanak, ibunya telah ditandai berbagai isyarat bahwa Gus Dur akan
mengalami garis hidup yang berbeda dan memiliki kesadaran penuh akan tanggung
jawab terhadap NU. Pada bulan April 1953, Gus Dur pergi bersama ayahnya
mengendarai mobil ke daerah Jawa Barat untuk meresmikan madrasah baru. Di suatu
tempat di sepanjang pegunungan antara Cimahi dan Bandung, mobilnya mengalami
kecelakaan. Gus Dur bisa diselamatkan, akan tetapi ayahnya meninggal. Kematian
ayahnya membawa pengaruh tersendiri dalam kehidupannya.
Dalam
kesehariannya, Gus Dur mempunyai kegemaran membaca dan rajin memanfaatkan
perpustakaan pribadi ayahnya. Selain itu ia juga aktif berkunjung keperpustakaan
umum di Jakarta. Pada usia belasan tahun Gus Dur telah akrab dengan berbagai
majalah, surat kabar, novel dan buku-buku yang agak serius. Karya-karya yang
dibaca oleh Gus Dur tidak hanya cerita-cerita, utamanya cerita silat dan fiksi,
akan tetapi wacana tentang filsafat dan dokumen-dokumen manca negara tidak
luput dari perhatianya. Di samping membaca, tokoh satu ini senang pula bermain
bola, catur dan musik. Dengan demikian, tidak heran jika Gus Dur pernah diminta
untuk menjadi komentator sepak bola di televisi. Kegemaran lainnya, yang ikut
juga melengkapi hobinya adalah menonton bioskop. Kegemarannya ini menimbulkan
apresiasi yang mendalam dalam dunia film. Inilah sebabnya mengapa Gu Dur pada
tahun 1986-1987 diangkat sebagai ketua juri Festival Film Indonesia.
Masa remaja
Gus Dur sebagian besar dihabiskan di Yogyakarta dan Tegalrejo. Di dua tempat
inilah pengembangan ilmu pengetahuan mulai meningkat. Masa berikutnya, Gus Dur
tinggal di Jombang, di pesantren Tambak Beras, sampai kemudian melanjutkan
studinya di Mesir. Sebelum berangkat ke Mesir, pamannya telah melamarkan
seorang gadis untuknya, yaitu Sinta Nuriyah anak Haji Muh. Sakur.
Perkimpoiannya dilaksanakan ketika ia berada di Mesir.